“Saya belum pernah mengerjakan perencanaan frekuensi dengan metode yang Bapak minta, bahkan belum ada pelatihan yang saya dapatkan untuk mengerjakan hal itu. Maaf, saya pasti nggak bisa, pak. Kalau Bapak paksa saya yan mengerjakan, pasti hasilnya salah. Saya kan fresh graduate, baru tiga bulan kerja di sini. Maaf, pak, saya nggak bisa menerima tugas itu.”
“Bram, kamu tahu nggak, dulu saya kerja baru dua bulan, belum punya pengalaman apa-apa bahkan pelatihan sekalipun, lalu diminta atasan saya untuk membuat perencanaan serupa. Saya minta waktu seminggu untuk menyelesaikannya. Saya selesaikan dalam tiga hari dan beliau bilang hasil yang kamu kerjakan sudah OK, sudah saya periksa, dan form perubahan sudah disiapkan oleh senior kamu dan siap dieksekusi oleh team lain.”
“Gimana Bapak bisa menyelesaikan pekerjaan itu?”
“Gampang, banyak senior yang jago. Baca buku training, tanya-tanya kemereka, kerjakan, beres! Kamu tahu nggak rasanya setelah bisa menyelesaikan tugas itu? Saya merasa bukan lagi menjadi seorang yunior yang bodoh atau pun pemalas! Kamu bukan orang yang bodoh lagi pemalas, bukan?”
Sesaat Bram hanya bengong melihat saya dengan muka memerah, dan sebentar berkata, “OK, sir! I’ll do it now. Terima kasih sudah mengejek saya!”
***
Siapa pun Anda, mungkin pernah berada dalam situasi seperti yang dialami oleh Bram? Hanya karena belum pernah mempunyai pengalaman mengerjakan suatu tugas, lalu berkata “tidak” untuk suatu pekerjaan yang seharusnya bisa membuat kita lebih maju dan mendapatkan pengalaman positip yang baru. Hal serupa sering saya jumpai dilakukan oleh orang yang telah bekerja beberapa tahun. Saya gunakan cara berbeda dan mereka bisa memulai pekerjaan tersebut dan berhasil menyelesaikan dengan hasil OK, menurut saya.
Penggalan cerita sederhana di atas menunjukkan paling tidak ada kepercayaan atau belief dalam pribadi seseorang yang cenderung membangun (positive atau empowering belief) mau pun membatasi (negative, limiting atau dispowering belief). Dari hal yang sangat sederhana tersebut menyadarkan kepada kita bahwa merubah suatu kepercayaan bisa memberikan manfaat yang sangat berguna, dari yang seharusnya sebuah pekerjaan tidak bisa dilakukan berubah menjadi bisa dikerjakan dan membawa hasil positip.
OK, itu hanya contoh kasus sederhana. Tidak perlu memberikan contoh dari kasus orang lain. Pernah kah Anda berdiskusi dengan teman Anda untuk memulai suatu bisnis? Diskusi Anda sangat bersemangat dan Anda mampu menuangkan semua rencana tersebut kedalam spreadsheet yang sangat detil dengan proyeksi aliran sumber dana, biaya yang harus dikeluarkan sampai dengan gambaran keuntungan yang akan didapatkan. Pada akhirnya terlalu banyak kata tapi, tapi dan tapi, sehingga rencana tinggal rencana, menguap begitu saja. Sementara setelah beberapa bulan Anda melihat teman diskusi Anda sudah menjalankan bisnisnya dengan omset puluhan juta rupiah, dan suatu hari dia berkata kepada Anda, “Gimana bisnis elu, bro? Besok gue mau meeting dengan orang yang mau ngasih dana tambahan buat bisnis gue”. Silahkan Anda menyesal, tapi stop! Ini bukan akhir dari dunia, belum terlambat buat Anda untuk benar-benar mengeksekusi rencana bisnis Anda tadi.
***
Dalam tulisan ini, saya ingin membagi tips sederhana, sepuluh cara untuk mengurangi pengaruh negatip dari sebuah limiting belief, atau bahkan merubahnya menjadi empowering belief yang bisa Anda terapkan untuk diri Anda sendiri maupun kepada teman atau rekan kerja Anda. Tidak semuanya sesuai untuk semua limiting belief, namun saya percaya bisa membantu Anda untuk kasus tertentu yang Anda miliki:
1. Mindset for Success
Apa pun situasi Anda sekarang lupakan semua hal negatip – beralih, kejar dan milikilah pola pikir dan tingkah laku positip. Miliki sikap “aku bisa”, dan segeralah ambil langkah pertama dan tindakan untuk setiap apa yang Anda inginkan. Bertanggungjawablah untuk setiap tindakan mau pun akibat dari setiap tindakan yang Anda lakukan.
Sebelum Anda memulai suatu aktifitas, ketahui dan pahamilah outcome apa yang sebenarnya Anda inginkan. Selalu evaluasi apakah outcome Anda sudah tercapai, kalau memang belum, jangan ragu untuk meminta feed back dari orang lain (stakeholders), Tetap mempunyai sikap mental positip dan fleksibel untuk merubah cara lain yang lebih baik dan sesuai, tanpa merubah tujuan itu sendiri. Tetap jaga dan terus bangun relasi yang baik kepada semua orang.
2. What’s Your Purpose
Ingatlah kembali apa tujuan Anda alam aspek tertentu dalam kehidupan. Kadang dengan menilik kembali nilai yang Anda dianggap benar (value), identitas (identity) Anda, atau pun tujuan (purpose) yang Anda miliki, akan membantu menemukan motivasi untuk mengalahkan limiting belief Anda.
3. Check Your Reality
Kita sering membuat asumsi-asumsi dan mulai mempercainya, kadang menjadi harga mati yang tidak bisa dirubah. Cobalah untuk menanyakan kepada diri Anda sendiri, “Bagaimana saya tahu kalau apa yang saya percayai adalah benar?”, atau sebaliknya, “Bagaimana saya tahu kalau apa yang saya percayai adalah salah?”. Hal ini akan membantu Anda memberikan sudut pandang lain untuk melakukan perubahan terhadap limiting belief.
4. Counter Examples
Tidak semua apa yang kita percayai salah adalah salah. Cobalah untuk berpikir dan menemukan dimana dan kapan sesuatu yang Anda anggap salah adalah benar (buat Anda atau orang lain)? Seperti dalam contoh di awal tulisan ini, apa yang Bram percayai bahwa orang yang belum berpengalaman mengerjakan sesuatu, tidak akan bisa mengerjakannya bisa berakhir lain.
5. Coping Question
Mungkin Anda pernah mengalami dimana Anda mempercai bahwa Anda tidak bisa mengerjakan suatu hal, tapi ternyata itu salah. Setelah Anda memutuskan dan bertekad untuk menjalaninya, ternyata Anda bisa melakukannya dengan sempurna. Mungkin itu adalah kejadian yang tidak ada hubungannya dengan limiting belief yang sedang Anda hadapi sekarang, namun banyak hal di dalam hidup ini menjadi pelajaran buat permasalah Anda yang lain.
Cobalah untuk mulai mempercai kenyataan tersebut dan mulai mengingat-ingat setiap kejadian dalam hidup Anda dimana sesuatu yang Anda percayai Anda tidak bisa melakukannya, namun dengan usaha tertentu Anda bisa melakukannya dengan baik. Anda bisa menggunakan strategy, state dan attitude saat Anda berhasil mengerjakan sesuatu tersebut. Misalkan Anda mempunyai limiting belief bahwa Anda tidak bisa membawakan sebuah materi presentasi dengan baik, namun Anda pernah membawakan kata sambutan dalam acara pernikahan teman Anda, dimana semua orang memberikan tepuk tangan riuh dan secara emosi terbawa oleh pesan yang Anda bawakan. Bagaimana Anda melakukan hal itu? Bagaimana state dalam diri Anda saat itu?
6. Resource Anchor
Hasil dari proses mengingat-ingat setiap kejadian dimana Anda bisa melakukan hal-hal besar, dapat Anda manfaatkan menjadi acuan atau anchor, dimana suatu saat Anda mengahadapi permasalahan termasuk mengelola limiting belief, dengan mengingat-ingat kemampuan Anda tersebut, Anda bisa berhasil menghadapi dan menyelesaikan permasalahan baru tersebut. Anda bisa bayangkan, dengan sejumlah anchor positip yang bisa Anda buat tersebut, itu akan menjadi sumber daya yang sangat powerful buat diri Anda sendiri.
7. Perceptual Positions
Seorang teman pernah bercerita kepada saya saat masuk tenggat waktu saat diminta atasannya untuk menyiapkan materi presentasi buat customer (seorang direktur teknik). Dia sangat kalut, bingung dan tidak tahu lagi informasi seperti apa yang harus dia tuliskan dalam dokumen presentasi tersebut. Dia menyerah dan hendak menolak tugas tesebut. Saya menyarankan kepada dia untuk menutup mata, posisi santai, mengambil waktu berpikir, menempatkan dirinya kedalam beberapa posisi dan sungguh-sungguh berpikir dalam tiap posisi tesebut, yaitu sebagai presenter (orang yang mempresentasikan materi, yang seharusnya adalah atasannya), sebagai audience atau pendengar (direktur teknik), dan terakhir sebagai kepala departemen (atasan dari atasan dia yang akan ikut dalam presentasi tersebut). Dalam waktu beberapa menit, dia mampu menuliskan beberapa outline atau pokok-pokok ide dari pikiran untuk materi presentasi tersebut dan membuat lanjutan detilnya dengan sangat mudah. Dengan teknik perceptual position, teman saya ini telah melewati penghalang pikirannya, dari berpikir tidak bisa mengerjakan tugas menjadi bisa dengan mudah mengerjakan tugas tersebut.
8. Reframing
Reframing merupakan cara untuk memaknai ulang suatu peristiwa. Dalam NLP dikenal dua tipe, yaitu context reframing dan content reframing. Context reframing mengambil pengalaman yang dianggap sebagai masalah dan menempatkannya dalam konteks yang tidak lagi menjadi masalah, atau di mana pengalaman yang benar-benar memiliki manfaat yang berguna atau positif atau bahkan menjadi aset. Content reframing membingkai konteks tetap statis dan makna yang berubah secara langsung, dan akibatnya respons kita berubah.
Dengan memahami teknik ini, Anda bisa mencari elemen positip dari suatu peristiwa yang awalnya Anda anggap sebagai sesuatu yang negatip – termasuk dalam hal ini limiting belief, bisa Anda maknai sebagai hal yang positip dan membantu Anda mencapai apa yang Anda inginkan (outcome).
Seorang adik kelas yang baru lulus dari kuliah bercerita kepada saya bahwa dia grogi / kawatir untuk datang ke sebuah wawancara perkerjaan. Dia belum pernah sama sekali datang ke acara wawancara pekerjaan, dan percaya bahwa wawancara pekerjaan untuk yang pertama kali itu akan gagal total dan dia akan menanggung malu. Saya katakan kepada dia bahwa itu hal wajar bagi setiap orang yang baru pertama kali melakukan wawancara pekerjaan. Bagi beberapa interviewer (pewancara), grogi bisa jadi diartikan sebagai ekspresi atau sikap bahwa kita sangat serius menjawab setiap pertanyaan pewancara, dan jika dia tidak terlihat grogi, saya kawatir pewancara akan menganggap bahwa dia bersikap angkuh atau somboh dan meremehkan proses wawancara, bahkan memberikan informasi yang dibuat-buat. Dua minggu setelah wawancara tersebut, teman saya ini memberi kabar kalau dia diterima untuk bekerja sebagai karyawan di perusahaan tersebut. Dia tetap grogi waktu wawancara, tapi bisa melewati prosesnya dengan baik.
Itu adalah salah satu contoh sederhana untuk content reframing yang sudah membantu teman saya sukses mengalahkan limiting belief.
9. Pretending
Salah satu prinsip dalam NLP adalah memodelkan ekselensi dari seseorang yang telah sukses dalam bidang tertentu. Anda bisa mengambil prinsip ini dan menanyakan kepada diri Anda, “Jika seseorang yang bisa melakukan sesuatu dan berhasil dengan baik atau sempurna, apa yang akan dia lakukan (dalam kontek limiting belief Anda)?” Lalu berpura-puralah Anda untuk melakukan apa yang akan dilakukan oleh orang tersebut. Berpura-pura dalam konteks positip adalah salah satu cara belajar untuk orang dewasa, dan bisa membantu Anda untuk melakukan sebuah perubahan positip.
10. Increase Your Capability
Limiting belief bisa jadi ada karena pengaruh dari ketidakmampuan kita secara teknis, bukan serta merta karena masalah mental itu sendiri. Untuk itu dengan melatih kemampuan Anda dalam segala hal, terutama bidang yang menjadi passion atau gairah Anda, saya percaya itu akan bermanfaat secara signifikan untuk mengurangi limiting belief Anda. Manfaatkan waktu yang tersedia untuk belajar hal-hal baru baik dari diri sendiri mau pun dari orang lain. Tunjukan kepada dunia bahwa Anda bisa! Anda bisa memilih melalui perenungan atau meditasi untuk menemukan kesadaran baru, sharing pengalaman hidup dengan orang lain, belajar dari buku atau artikel, mengikuti pelatihan, workshop mau pun seminar.
Tips yang uraikan di atas sebagian besar adalah teknik yang ada dalam NLP. Secara struktur mungkin belum dibakukan sebagai kurikulum standar oleh badan atau trainer penyelenggara pelatihan. Semoga tulisan ini bisa membantu Anda untuk berlatih merubah limiting belief yang ada dalam diri Anda, teman atau rekan kerja Anda, menjadi empowering belief yang bermanfaat serta bisa mulai menerapkan cara-cara sederhana tersebut dalam setiap aspek kehidupan Anda. Salam sukses!